Announcement:

This is a Testing Annocement. I don't have Much to Say. This is a Place for a Short Product Annocement

Rabu, 16 Oktober 2013

Jaksa Tak Paham Ilmu Telekomunikasi

Tuntutan hukum terhadap kasus dugaan  penyalahgunaan  frekuensi radio 2,1 Ghz/3G terhadap Indosat dan IM2 makin terlihat wajah hitam-putihnya. Dari awal saya sudah menegaskan, bahwa saya tidak mengerti apa sebenarnya yang ingin dituntut oleh Jaksa Agung?

Setelah bergulirnya kasus ini, semakin jelas bahwa Jaksa Agung tidak memahami ilmu telekomunikasi, tetapi ia memaksakan diri. Selain  itu, Jaksa  tidak hanya salah tafsir dan kriminalisasi, tapi juga  sesat.
Soal perbedaan jaringan dan frekuensi saja, sampai hari mereka belum tahu. Padahal jaringan itu tidak bisa dipisahkan dengan frekuensinya, karena tidak akan ada jaringan kalau tidak ada frekuensi, tidak ada frekuensi kalau tidak ada jaringan. Nah IM2 itu jelas-jelas adalah Internet Service Provider (ISP). Undang-undang mengatakan, supaya masyarakat sebanyak-banyaknya memanfaatkan jaringan telekomunikasi.

Dalam kasus ini saya akui telah terjadi kekacauan berpikir. Soal korupsi, jaksa bilang tidak membicarakan undang-undang telekomunikasi, tidak membicarakan soal BHP, mereka bicarakan korupsi. Padahal yang diatur dalam undang-undang telekomunikasi itu adalah yang menggunakan frekuensi yang menggunakan jaringan  harus bayar BHP (Biaya Hak Pemakaian), bila itu tidak dibayar, maka jadi pendapatan Negara bukan pajak, jadi membacanya adalah undang-undang telekomunikasi plus undang-undang tentang penerimaan Negara bukan pajak.

Saya semakin yakin, bahwa jawaban jaksa itu memang sesat, sesat pikir sesat motivasi dan sesat tujuan. Yang perlu dicatat; Ada dua surat dari Menteri Komunikasi dan Informasi, yang mengatakan sebagaimana surat dakwaan itu diatur oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang berwenang itu Menkominfo, menyatakan tidak ada penggunaan frekuensi secara bersama. Berulang-ulang dia katakan oleh karena itu tidak ada kewajiban untuk membayar BHP (biaya hak pemakaian)  frekuensi, apron fee dan sebagainya.
Kemudian perkara yang diajukan dalam persidangan ini sejatinya bukan merupakan kewenangan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Surat Dakwaan tidak memberikan uraian cermat, jelas, dan lengkap atas tindak pidana yang didakwakan.

Sementara  dalam tanggapannya Jaksa mengabaikan Menkominfo sebagai pembina atau pengawas sektor telekomunikasi. Dan, malah mencurigai bahwa Menkominfo perlu diklarifikasi. Meskipun mencurigai, jaksa penyidik, tidak melakukan klarifikasi dengan memanggil Menkominfo.
Jadi, Jaksa telah melakukan errorin objecto dan dobel standar. Kalau urusan uang memakai BPKP, namun tidak mengakui urusan teknis dibawah Menkominfo ini adalah aturan yang keliru.
Jaksa juga tidak merespon tentang mengapa tidak menggunakan aturan “lex spesialis” perundangan telekomunikasi, namun langsung kepada perundangan tipikor.
Meskipun dalam jawaban yang sama Jaksa mengakui secara tidak langsung bahwa BPKP tidak berwenang menghitung kerugian negara. Ini membuktikan Jaksa kita sudah melakukan tindakan kriminal.

Share it Please

Adminnya

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 KTIKID. Designed by Templateism | Love for The Globe Press